PERILAKU MEMBIASAKAN DIRI DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
Alternatif Pencegahan Kerusakan Lingkungan
Adalah fakta bahwa kerusakan hutan kita sudah luar biasa. Konon tak ada lagi hutan yang tak rusak di negeri ini, termasuk hutan lindung. Pemerhati lingkungan dunia sudah sejak lama meneriakkan hal itu. Bahkan citra Indonesia "buruk" di mata internasional salah satunya akibat hal ini.
Bank Dunia bahkan pernah memperkirakan pada 2005 hutan dataran rendah di Sumatera lenyap--hal yang agaknya telah menjadi kenyataan. Hal yang sama juga diperkirakan terjadi di Kalimantan pada 2010. Forest Watch Indonesia melaporkan pada 2002 bahwa sejak 1996 tingkat deforestasi telah mencapai sekitar 2 juta hektare per tahun. Bahkan dua tahun lalu Walhi menyebutkan tingkat deforestasi itu mencapai 3,8 juta hektare, dengan kerugian negara sekitar Rp 30 triliun setiap tahun. Data resmi juga menunjukkan tingkat kerusakan hutan memang telah lama mengkhawatirkan. Berdasarkan Statistik Kehutanan 1993, luas kawasan hutan diperkirakan sekitar 141,8 juta hektare. Pada 2001 luas itu telah menurun menjadi sekitar 108,6 juta hektare. Jadi, selama kurun waktu 8 tahun itu luas hutan menyusut sebesar 32,2 juta hektare. Penyusutan terbesar terjadi di Kalimatan, yakni 12,8 juta hektare per delapan tahun, sama dengan 1,6 juta hektare setahun, disusul hutan Sumatera (hilang 11,6 juta hektare), dan lain-lain. Dengan data-data ini, bisa dibayangkan begitu terancamnya bumi kita.
Ini di hutan produksi. Menurut data ini juga, hutan taman nasional atau hutan lindung, yang luasnya 21 juta hektare, cukup terlindungi. Namun, pantauan Ditjen Bangda Depdagri terhadap 11 hutan taman nasional pada 2004 di Sumatera menunjukkan terjadi penjarahan di sana. Hal serupa diduga terjadi di hutan lindung lain.
Celakanya, hal itu seperti "harus terjadi". Karena, pertama, tuntutan terhadap sumber daya hutan itu memang luar biasa. Lihat saja, realisisi terhadap pemenuhan tuntutan kayu, totalnya mencapai 98 juta m3 per tahun. Padahal, kemampuan hutan produksi untuk menghasilkan kayu bulat secara lestari hanya 22 juta m3 per tahun. Jadi, ada kelebihan ekploitasi hutan sebanyak 86 juta m3 per tahun dari yang seharusnya. Dari mana kayu-kayu itu diperoleh? Ya itu, selain dari hutan produksi, naif jika dinafikan juga dari hutan lindung.
Yang kedua, lemahnya penegakan hukum. Hal ini, selain lemahnya moral aparat, juga karena terbatasnya jumlah petugas hutan. Sebagai contoh, Taman Nasional Kerinci Seblat yang luasnya 1,2 juta hektare hanya dijaga 105 aparat. Itu sama artinya 1 petugas penjaga 10.000 hektare lebih. Kondisi ini tentu memupus harapan akan lestarinya hutan kita, dan bayangan menakutkan terjadinya bencana banjir dan longsor akan terus menggelayut di langit bumi kita. Apalagi, hutan juga "dirusak" oleh hal lain, di antaranya oleh perusahaan pertambangan yang diizinkan beroperasi di hutan, termasuk di hutan lindung (melalui Perppu No 1/2004 tentang Kehutanan). Jika sudah begitu, apa yang bisa dilakukan?
Upaya-upaya pelestarian hutan tidak bisa hanya dilakukan pemerintah, justru lebih efektif dilakukan dengan melibatkan masyarakat, khususnya masyarakat di pinggir hutan. Pasalnya, mereka "dekat", hidup, dan mencari kehidupan di hutan.
Namun, sejauh ini, yang terjadi justru mereka yang dimanfaatkan (para cukong) untuk "menjarah" hutan. Padahal, kedekatan mereka dengan hutan, hidup mereka dari hutan, bahwa mereka lebur dan telah bertahun-tahun menjadi bagian dari hutan, seyogianya di dalam diri mereka tumbuh perasaan cinta dan hasrat memelihara hutan. Namun, ini tidak terjadi dan pihak berwenang belum mengupayakannya secara sadar hal itu untuk tumbuh.
Sesungguhnya, hutan dan alamnya dapat menjadi sumber kemakmuran, khususnya bagi masyarakat pinggir hutan, dan itu justru dengan melestarikan hutan itu sendiri. Apalagi, industri pariwisata sektor alam ini kini sangat diminati. Di sinilah peluang sektor ekowisata, menurut hemat kami, sangat besar sehingga perlu dikembangkan.
Contoh bagus dan berhasil dalam hal ini ialah denyut ekowisata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Kekayaan hayati di hutan lindung Taman Nasional ini memang sudah dikenal, tidak saja di dalam negeri, tapi juga ke mancanegara. Dan taman nasional terkecil kedua di Indonesia ini tidak saja telah menjadi objek wisata yang diminati karena alamnya yang indah dan kekayaan hayatinya yang tinggi, tetapi juga telah menjadi area penelitian yang kaya dan sarana pendidikan dan budidaya yang bermanfaat.
Terbukti, TNGGP mampu "mengundang" 60.000 lebih wisatawan setiap tahun. Ke depan, jumlah ini diperkirakan terus meningkat. Dan dengan jumlah ini dapat dibayangkan potensi ekonomi tercipta di kawasan ini. Sektor-sektor ekonomi masyarakat, seperti usaha restoran, guider, penginapan akan hidup dan berkembang. Dan pemda pun dapat meningkatkan PAD-nya dari retribusi wisata.
Hutan lindung lain dengan keunikannya tentu tak kalah potensinya dari TNGGP. Bahkan, bisa jadi lebih besar. Seperti hutan lindung Tak Koko di Nusa Tenggara Barat. Di hutan ini terdapat pohon besar yang memiliki pancuran yang airnya (menurut kepercayaan) bisa menunjukkan apakah orang yang mandi di situ berpenyakit atau tidak--melalui tanda yang muncul secara misterius: jika air yang dipakai untuk mandi berbusa, itu pertanda bahwa yang mandi berpenyakit; jika tidak, itu pertanda bahwa yang mandi itu sehat.
Di Jambi, air terjun Gunung Tujuh terbukti bisa langsung diminum karena begitu alaminya alam di situ. Dengan alamnya yang masih murni dan indah jelas potensi wisatanya luar biasa. Dan, banyak tempat lain yang punya keistimewaan sendiri, didukung oleh legenda yang hidup di masyarakat sekitarnya. Inilah sesungguhnya target pengembangan sektor ekowisata: masyarakat "terpaksa" memelihara hutan karena merasa hutan itu merupakan hal terpenting bagi mata pencaharian mereka.
Pendidikan Lingkungan
Kerusakan lingkungan yang terjadi belakangan ini, diakui berbagai pihak bahwa banyak faktor yang menjadi pemicunya. Salah satu aspek yang disebut-sebut adalah bidang pendidikan. Inilah yang akan penulis coba diskusikan dalam forum mulya ini.
Kalau kita tenggok ke belakang, maka terlihat jelas dunia pendidikan kita kurang jalinan mesra dengan aspek kelestarian lingkungan hidup. Walaupun ada yang bertautan, itu pun jumlahnya dapat kita hitung dan muatannya pun kurang aplikatif terhadap keadaan alam di daerah masing-masing. Artinya, muatannya hanya semata-mata teoritis, tanpa membuat peserta didik melihat sendiri di lapangan.
Untuk itu, tidak aneh kalau sekarang banyak pemimpin dan pelaku ekonomi pembangunan yang mengabaikan aspek keselamatan lingkungan ini. Dalam pikirannya, hanya terbesit bagaimana caranya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Itu saja, titik!
Sejalan dengan itu, guru besar bidang geofisika terapan ITB, Prof Dr MT Zen, beberapa waktu lalu bahkan pernah menyebutkan bahwa masalah yang serius dalam mengatasi krisis lingkungan ini adalah pendidikan.
Pendapat tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Paling tidak, melalui insan-insan pendidikan lingkungan ini, akan melahirkan anak didik yang tidak hanya mampu menjadi warga negara pengembang dan pengamal IPTEK yang ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam. Tapi, lebih dari itu, ia akan mampu menerima dan menjalankan etika dan moralitas insan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari amal solehnya. Tepatnya, amal soleh bagi anak keturunannya di masa datang dan takwa pada Sang Maha Pencipta yang memberkahinya.
Melalui pendidikan lingkungan ini, akan melahirkan pola pikir yang memposisikan dunia yang dicita-citakan sebenarnya adalah suatu dunia yang secara sosial adil dan secara ekologis dapat berkelanjutan.
Untuk mencapai itu, dalam bahasa MT Zen dikatakan “Satu-satunya jalan untuk menempuh itu adalah mengubah pandangan masyarakat terhadap alam. Yakni, kita harus membiasakan diri dengan beranggapan bahwa kita merupakan bagian dari alam. Kita tidak mempunyai hak sama sekali untuk memusnahkan spesies apa pun di muka bumi ini.” (Suara Pembaruan, 20/01/02).
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana caranya kita menterjemahkan gagasan dan pandangan ilmu lingkungan tersebut ke dalam bahasa pendidikan yang operasional dan aplikatif?
Bentuk Tindakan
Untuk mencapai sinergi yang baik antara ilmu lingkungan dengan dunia pendidikan, tentu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tapi, itu pun bukan berarti tidak bisa kita lakukan. Di sini, kuncinya kita mau atau tidak. Berawal dari niat dan motivasi yang ikhlas inilah akan menghasilkan kualitas lingkungan yang lebih baik.
Adapun bentuk tindakan pendidikan lingkungan hidup yang bisa kita contoh adalah seperti yang dilakukan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Yayasan ini bekerjasama dengan sejumlah LSM di berbagai daerah untuk mengembangkan pendidikan lingkungan hidup (PLH). Mereka menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah dan guru untuk mengembangkan materi lingkungan hidup yang bisa dimasukan dalam berbagai bidang studi yang terkait. Lebih jauh dari itu, para peserta didik pun melihat langsung dan mengamati apa yang terjadi pada lingkungan alam yang dibinanya.
Bentuk pendidikan lingkungan ini, tentu harus bersifat kedaerahan, yang tentunya tidak terlepas dari lingkungan global. Artinya program pendidikan lingkungan harus dikembangkan sesuai dengan falsafah dan tujuan pembangunan nasional. Yang biasanya didasarkan pada spektrum ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan di daerah masing-masing.
Selain itu, materi, pendekatan dan metodologi pendidikan perlu terus menerus dikembangkan sesuai dengan perubahan aspirasi dan sistem nilai yang terjadi di masyarakat.
Pendeknya, pendidikan lingkungan itu berada dalam koridor untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian tentang lingkungan serta permasalahannya. Dalam bahasa Drs Achmad Ganjar dan Dra Anisyah Arief (1997) adalah dengan pengetahuan, ketrampilan, sikap, motivasi dan komitmen untuk bekerja secara individu dan kolektif, terhadap pemecahan permasalahan dan mempertahankan kelestarian fungsi-fungsi lingkungan.
Untuk mencapai itu, berikut ini adalah hal-hal yang perlu dilakukan. Pertama, memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk memperoleh pengertian dasar tentang lingkungan hidup, permasalahannya serta peran dan tanggung jawab manusia dalam upaya melestarikan fungsi-fungsi lingkungan hidup.
Kedua, membantu individu dan masyarakat mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan dalam pengelolaan, menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan memecahkan permasalahan lingkungan.
Ketiga, memupuk kesadaran dan kepekaan terhadap lingkungan hidup dan permasalahannya, melalui penyuluhan terhadap individu atau masyarakat tentang sistem nilai yang sesuai, kepekaan yang kuat atas keperdulian tentang lingkungan dan motivasi untuk secara aktif berpartisipasi terhadap pelestarian fungsi-fungsi lingkungan dan pencegahan kerusakan lingkungan.
Pendidikan lingkungan hendaknya tidak hanya menciptakan kemahiran meneliti dan menulis atau berbicara saja. Lebih dari itu, ia juga mahir melaksanakan jasa pelayanan lingkungan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif).
Pendidikan lingkungan juga hendaknya menciptakan orang-orang yang dapat menjadi tauladan bagi masyarakatnya, membangkitkan interaksi sosial serta memotivasi dan melibatkan diri dalam masyarakat sebagai pendorong yang mampu memecahkan masalah-masalah lingkungan.
Apabila kita merujuk pada konsep UNESCO, dikatakan bahwa keberhasilan pendidikan diukur dari hasil empat pilar pengalaman yang diperoleh peserta didik, yaitu belajar mengetahui (learning to know), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi orang (learning to be). Demikian juga halnya dengan pendidikan lingkungan dalam masyarakat.
Dengan terciptanya pendidikan lingkungan seperti itu, maka akan menopang terwujudnya pembangunan masyarakat yang sesuai harapan setiap kalangan. Yang dalam bahasa Ronald G Havelock disebutkan bahwa pembangunan masyarakat pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang membentuk siklus dalam suatu spiral. Yakni berupa penelitian dan pengembangan; interaksi sosial dalam rangka penyebarluasan hasil-hasil penelitian dan pengembangan; serta proses pemecahan masalah di masyarakat dengan menggunakan hasil-hasil penelitian dan pengembangan tersebut.
Akhirnya, posisi pendidikan (baca: ilmu) adalah sesuatu yang penting dalam hidup manusia. Begitu juga dengan ilmu lingkungan perlu dimiliki oleh setiap manusia yang hidup di dunia ini. Dan dari sini, tentu kita berharap akan lahir manusia yang sadar akan peran dan kewajibannya untuk sama-sama menjaga kelestarian lingkungan.
Bukankah, Allah SWT menginformasikan dalam Alqur’an surat Ar-Rum ayat 41, (yang artinya): “Telah timbullah kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan mereka sendiri, biar mereka dapat merasakan sendiri akibat perbuatannya, supaya kembali kepada Tuhan.” Waallahu’alam.**
Pencemaran Lingkungan
Pencemaran lingkungan merupakan masalah kita bersama, yang semakin penting untuk diselesaikan, karena menyangkut keselamatan, kesehatan, dan kehidupan kita. Siapapun bisa berperan serta dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, termasuk kita. Dimulai dari lingkungan yang terkecil, diri kita sendiri, sampai ke lingkungan yang lebih luas.
Permasalahan pencemaran lingkungan yang harus segera kita atasi bersama diantaranya pencemaran air tanah dan sungai, pencemaran udara perkotaan, kontaminasi tanah oleh sampah, hujan asam, perubahan iklim global, penipisan lapisan ozon, kontaminasi zat radioaktif, dan sebagainya.
Untuk menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan ini, tentunya kita harus mengetahui sumber pencemar, bagaimana proses pencemaran itu terjadi, dan bagaimana langkah penyelesaian pencemaran lingkungan itu sendiri.
Sumber Pencemar
Pencemar datang dari berbagai sumber dan memasuki udara, air dan tanah dengan berbagai cara. Pencemar udara terutama datang dari kendaraan bermotor, industi, dan pembakaran sampah. Pencemar udara dapat pula berasal dari aktivitas gunung berapi.
Pencemaran sungai dan air tanah terutama dari kegiatan domestik, industri, dan pertanian. Limbah cair domestik terutama berupa BOD, COD, dan zat organik. Limbah cair industri menghasilkan BOD, COD, zat organik, dan berbagai pencemar beracun. Limbah cair dari kegiatan pertanian terutama berupa nitrat dan fosfat.
Proses Pencemaran
Proses pencemaran dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu bahan pencemar tersebut langsung berdampak meracuni sehingga mengganggu kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan atau mengganggu keseimbangan ekologis baik air, udara maupun tanah. Proses tidak langsung, yaitu beberapa zat kimia bereaksi di udara, air maupun tanah, sehingga menyebabkan pencemaran.
Pencemar ada yang langsung terasa dampaknya, misalnya berupa gangguan kesehatan langsung (penyakit akut), atau akan dirasakan setelah jangka waktu tertentu (penyakit kronis). Sebenarnya alam memiliki kemampuan sendiri untuk mengatasi pencemaran (self recovery), namun alam memiliki keterbatasan. Setelah batas itu terlampaui, maka pencemar akan berada di alam secara tetap atau terakumulasi dan kemudian berdampak pada manusia, material, hewan, tumbuhan dan ekosistem.
Langkah Penyelesaian
Penyelesaian masalah pencemaran terdiri dari langkah pencegahan dan pengendalian. Langkah pencegahan pada prinsipnya mengurangi pencemar dari sumbernya untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih berat. Di lingkungan yang terdekat, misalnya dengan mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan, menggunakan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle).
Di bidang industri misalnya dengan mengurangi jumlah air yang dipakai, mengurangi jumlah limbah, dan mengurangi keberadaan zat kimia PBT (Persistent, Bioaccumulative, and Toxic), dan berangsur-angsur menggantinya dengan Green Chemistry. Green chemistry merupakan segala produk dan proses kimia yang mengurangi atau menghilangkan zat berbahaya.
Tindakan pencegahan dapat pula dilakukan dengan mengganti alat-alat rumah tangga, atau bahan bakar kendaraan bermotor dengan bahan yang lebih ramah lingkungan. Pencegahan dapat pula dilakukan dengan kegiatan konservasi, penggunaan energi alternatif, penggunaan alat transportasi alternatif, dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Langkah pengendalian sangat penting untuk menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat. Pengendalian dapat berupa pembuatan standar baku mutu lingkungan, monitoring lingkungan dan penggunaan teknologi untuk mengatasi masalah lingkungan. Untuk permasalahan global seperti perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, dan pemanasan global diperlukan kerjasama semua pihak antara satu negara dengan negara lain.
KERRENN :-)
BalasHapus